SWARA DELI




Selasa, 20 November 2012

“Raja Bius” Diperlukan


Peran “Raja Bius” atau pemuka masyarakat dan hukum adat sangat diperlukan untuk mengantisipasi munculnya permasalahan lahan yang terjadi di tengah masyarakat Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.“Sebab, penyelesaian konflik perkara yang terjadi antara petani komunitas masyarakat adat dengan pihak luar sering berkaitan dengan tata hukum yang berbeda,” kata Anggota Kelompok Studi Pemberdayaan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Samosir, Suriati Simanjuntak di Pangururan, Selasa.Saat ini, kata dia, banyak masalah lahan berimplikasi hukum yang merugikan masyarakat dalam proses penuntutan haknya, akibat perubahan hukum perdata yang dijadikan aparat penegak hukum menjadi hukum pidana, seperti tuduhan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas dan kekerasan lainnya di daerah tersebut.Menurut Suriati, perubahan dari hukum perdata ke hukum pidana dapat terjadi, ketika kepentingan hukum tiap manusia masuk dalam kepentingan umum dan dianggap sebagai serangan kepada masyarakat lainnya.

Namun, lanjutnya, dalam prosesnya sering terjadi penyimpangan, disebabkan banyaknya undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah, yang dapat dihubungkan dengan masalah pidana seperti pasal 335 KUHP (Perbuatan tidak menyenangkan) dan pasal 170 KUHP (Pelaku kekerasan terhadap orang lain dan barang).
Dikatakannya, upaya-upaya yang dapat dilakukan jika terjadi penyerobotan lahan, yakni memberikan sanksi tegas kepada pihak luar (investor/pengusaha) yang melanggar hukum adat, juga dengan melakukan negosiasi kesepakatan, reklaiming serta dan demonstrasi serta gugatan melalui pengadilan.
Diakuinya, banyak masyarakat adat menjadi korban pihak luar, yaitu Investor maupun pihak Pemerintah, akibat ketidaksanggupan mereka dalam memenuhi tuntutan warga, sehingga para pengusaha itu sering membawa suatu permasalahan menjadi tindak pidana.
“Kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang menuntut hak mereka sering dikalahkan oleh pihak Pengadilan,” katanya.
Sementara itu, Asisten Pemerintahan Kabupaten Samosir, Ombang Siboro menyebutkan, untuk menyikapi banyaknya permasalahan tanah yang berimplikasi hukum di wilayah itu, pihaknya telah melaksanakan penyuluhan hukum bagi masyarakat dan PNS pada Senin (19/11) di Aula Kantor Camat Sianjur Mula-mula.
Menurut dia, salah satu cara untuk mempertahankan tanah adat di Kabupaten berpenduduk 119.653 jiwa yang terletak di bagian tengah provinsi Sumatera Utara itu, yakni harus lebih dahulu menghidupkan fungsi tokoh masyarakat yang sosoknya sudah teruji serta mendapat pengakuan, sehingga dalam mengambil suatu keputusan dapat bertindak tegas. (a)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar