SWARA DELI




Senin, 22 Oktober 2012

Kisah Karo Tempo Dulu


Judul Buku : Kisah Karo Tempo Dulu
Penulis : Joey Bangun
Penerbit : Aron Entertainment Pustaka
Cetakan : I, Mei 2006
Tebal : 138 halaman
''Bang, maaf aku aku harus memberitahukan ini , aku tidak bisa kembali lagi ke Hindia Belanda karena keadaan negeri kita kacau balau sejak kedatangan Jepang.Sementara suasana di Belanda juga bertambah kacau sejak NAZI menguasai Eropa.Bang, sekali lagi aku minta maaf, aku telah melanggar janji kita.Aku telah menikah dengan Andy van Der Wijk di Rotterdam.Aku sedang mengandung anaknya.Dan aku berharap abang bisa melupakan aku.Semoga abang bisa mendapatkan jodoh dan hidup yang layak disana.Bujur "Rasta “

Tidak banyak ditemukan buku yang berisikan tulisan berlatar fakta sejarah dan dibungkus dengan kisah asmara.Hal itu hanya dapat dilakukan apabila penulisnya memulai dengan survey intensif dan kreatif.Sebab, masing – masing sisi memiliki kepentingan yang sulit dipertemukan. Inilah yang dilakukan penulis buku “Kisah Karo Tempo Dulu” ( kumpulan cerita pendek) Joey Bangun.Ia menyebut gaya yang ditampilkannya adalah dramatic imagination ( imajinasi dramatik ). Sebagai orang teater, sangat tegas dramatic ending diangsurkannnya dalam setiap cerita.Bahwa sesekali nyaris mengundang pertanyaan karena sangat kental dengan nilai heroisme.Dengan tegas Joey Bangun memohonkan kemakluman semua pihak.Salah satu alasannya melakukan hal ini adalah , dengan gaya tersebut sangat dimungkinkan generasi muda terpikat dengan sejarah Karo tempo doeloe. Buku ini berisikan 12 cerita pendek dengan suasana yang berbeda – beda.Menyimak isi buku ini hampir mirip ketika kita menyaksikan sinetron “Angling Dharma” atau cerita rakyat lainnya yang dilumuri kisah cinta , perjuangan dan sejarah.Racikan yang halus, sederhana serta bersahaja menguatkan buku ini sehingga mengaburkan perbedaan antara fakta dan fiksi.. Misalnya “ Belobat” (hal-2).Bisa jadi sejarah asli yang dikumpulkan di seputaran Nederlandsche Zending Genootshap (NZG) di Kabanjahe kira – kira tahun 1942.Tersebutlah perempuan cantik asal Desa Beganding Kecamatan Simpang Empat Tanah Karo bernama Rasta beru Sembiring Gurukinayan yang terpaut kasih dengan Nuah Sitepu. Kedua sejoli yang memadu janji menuju bahtera rumah tangga diretas kondisi kehidupan sekelilingnya.Saat itu Rasta beru Sembiring Gurukinayan mengabdi sebagai perawat sukarela di rumah sakit NZG.Lembaga missionaris Belanda ini menyentuh banyak sendi kehidupan warga Karo ketika itu, termasuk pendidikan.Disela-sela pengabdian itulah problematika cinta dimulai. Andy van Der Wijk salah seorang pimpinan rumah sakit yang berstatus lajang menugaskan Rasta beru Sembiring Gurukinayan ke Bandung.Nuah Sitepu tak mampu menahan keberangkatan jantung hatinya.Apalagi ia berjanji akan kembali hanya untuk Nuah Sitepu. Kisah dengan bumbu perang Jepang, Belanda dan Nazi ini mengakhiri cita – cita kedua insan .Selembar surat yang dikirimkan Rasta beru Sembiring Gurukinayan sebagai dramatic ending yang dimaksudkan tadi.Penulis tidak menyianyiakan fakta sejarah yang ada di berbagai belahan bumi Nusantara khususnya yang berkaitan dengan etnis Karo.Meski sekelumit semisal soal “Perlanja Sira” alias pemikul garam (hal 11 ) , penulis tetap mengimprovisasikannya dengan kisah perjuangan mereka dalam posisi yang strategis melawan Belanda.Gaya ini yang menjadi pemikat untuk menikmati buku tersebut terutama yang ingin mengetahui sejarah masa lalu warga Karo.Bahkan di dalam “Musuh Berngi” (hal 53) semakin terkuak ke permukaan, betapa “Musuh Berngi” itu ibarat virus mematikan bagi Belanda.Laskar – laskar Karo dan Melayu yang disebut Simbisa bergandengan tangan melakukan perang gerilya membakar bangsal tembakau milik kolonial.“Musuh Berngi” sebagai taktik perang gerilya membuat Belanda panik.Balasan atas sikap warga Karo dan Melayu ini mendatangkan 217 serdadu Belanda tanggal 15 Mei 1872 dipimpin Kapten W Korps. Buku ini adalah kumpulan cerita pendek Joy Bangun dari berbagai media di Jakarta dan Medan.Satu diantara cerita pendeknya betajuk “ Gertak Lau Biang” telah dipentaskan dalam bentuk drama monolog sepanjang 36 jam non-stop.Pertunjukan dengan multibahasa tersebut meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia ( MURI) tanggal 3 Mei 2006 di Bandung. Jangan lupakan sejarah.Ini ajakan pendahulu yang belakangan sulit diaplikasikan berhubung banyaknya tuntutnan lain.Lewat buku ini Joey Bangun ingin menawarkan cara termudah menikmati sejarah yang tidak memuakkan namun mengasyikkan.(Posted )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar